Oleh Hasan Zainuddin
Banjarmasin,6/3 (Antara)- ” Itu dia” kata pengemudi klotok (perahu metor
tempel) seraya menunjuk ke beberapa ekor Bekantan (Nasalis larvatus)
yang bergelantungan di pohon Pulantan, di kawasan lahan rawa Desa
Lawahan, Kecamatan Tapin Selatan, Kabupaten Tapin, Provinsi Kalimantan
Selatan, atau sekitar 150 kilometer Utara banjarmasin.
“Wah banyak Bekantannya,” kata Erwin seorang kameraman Banjar TV
seraya membidikkan kameranya ke arah kelompok kera hidung pandang
endemik Pulau Kalimantan (Boeneo) tersebut.
Dengan pelan-pelan klotok merapat ke hamparan rawa yang ditumbubi
Pulantan dan tanaman galam itu. “Jangan berisik,” kata pengemudi klotok
itu mengingatkan, karena bekantan terlalu peka terhadap kedatangan
orang.
Ternyata benar setelah melihat kedatangan rombongan yang terdiri dari
wartawan yang tergabung dalam grup “pena hijau,” Forum Komunitas Hijau
(FKH) , Sahabat Bekantan Indonesia (SBI), peneliti dan dari karyawan
perusahaan PT Antang Gunung Meratus (AGM), itu kelompok parimata itu
menjauh.
Kendati menjauh namun binatang berkulit kuning kemerahan tersebut
tetap bergelantungan di atas pohon, sehingga para wartawan bisa saja
mengabadikan kehidupan satwa itu melalui kamera menggunakan lensa zoom.
“Alhamdulillah, aku dapat momen yang bagus,” kata Erwin lagi seraya
terus membidikkan kamera videonya ke arah kehidupan bekantan yang konon
terdapat sekitar 300 ekor di kawasan yang berdekatan dengan operasi
perusahaan batubara PT AGM tersebut.
Pemantauan penulis kawasan yang ada kehidupan Bekantan tersebut
terlihat hutan yang rusak, kendati masih ada pohon-pohon hijau, tetapi
sebagian besar sudah “meranggas,” karena lahan itu tampak bekas
kebakaran.
Para kera tersebut, tampak lebih banyak berada di daratan ketimbang
di atas pohon, mereka makan daun-daun pakis (kelakai) yang memang hidup
merambat di daratan, dan tampak waspada terhadap kedatangan rombongan,
sambil makan sambil menjauh.
Peneliti Bekantan dari Institut Pertanian Bogor (IPB) Profesor Hadi
Sukadi Alikodra mengungkapkan bahwa sekitar 300 ekor bekantan yang hidup
di sekitar kawasan pertambangan dan perkebunan sawit di Kabupaten
Tapin, Kalimantan Selatan, sempat mengalami stres akibat kebakaran
lahan.
Menurut Alikodra di Banjarmasin, bekantan yang sebelumnya hidup di
kawasan konservasi dan ekowisata yang dibangun oleh Pemerintah Kabupaten
Tapin bersama perusahaan tambang PT AGM terpaksa harus mencari rumah
baru untuk melanjutkan hidup.
“Pada saat kebakaran lahan, seluruh bekantan yang ada di kawasan
konservasi harus lari menyeberang sungai, untuk menyelamatkan diri,”
katanya.
Pada musim kemarau 2014, kebakaran lahan cukup besar terjadi di
kawasan perkebunan sawit, hingga membakar puluhan hektare kawasan
konservasi, tempat para bekantan tersebut hidup.
Petugas dari beberapa perusahaan yang ada di sekitar wilayah
tersebut, bisa memblok beberapa bagian kawasan, sehingga tidak ikut
terbakar, sehingga bisa dimanfaatkan untuk melanjutkan hidup para
bekantan.
Saat ini, para bekantan tersebut, kembali hidup dan berkembang biak,
di kawasan hutan Galam dan Pulantan yang ada di sepanjang pinggiran
sungai di wilayah Lawahan atau Muning, Kabupaten Tapin.
Sementara peneliti Bekantan dari Universitas Lambung Mangkurat
Profesor Arif Soendjoto mengatakan, kini Bekantan tersebut juga makan
rumput, kemungkinan karena makanan berupa daun Pulantan dan daun Galam
tidak mencukup lagi.
Mempertahankan keberadaan hewan endemik khas Kalimantan tersebut,
Pemkab Tapin bersama PT AGM menyiapkan lahan untuk konservasi Bekantan.
Dalam rangka melindungi habitat Bekantan, Pemkab Tapin menerbitkan
Surat Nomor 188.45/060/KUM/2014 tentang Penetapan Kawasan Bernilai
Penting bagi Konservasi Spesies Bekantan.
Pengembangan ekowisata Bekantan benbentuk tim yang berasal pemerintah
daerah, Fakultas Kehutanan Institut Pertanian Bogor (IPB), Universitas
Lambung Mangkurat (Unlam), WWF dan PT AGM.
“Wilayah Ekowisata Bekantan ini dibangun di lahan seluas 90 hektare
di kanal PT AGM, kami harap selain PT AGM, penyelamatan habitat Bekantan
juga menggandeng perusahaan lainnya,” kata Deputi Direktur Umum PT AGM
Budi Karya Yugi Budi.
Menurut Budi Karya Yugi perusahaan bersedia mengeluarkan uang
miliaran rupiah hanya untuk konservasi lahan rawa yang rusak akibat
terbakar dan merusak habitat kera yang menjadi maskot Kalsel tersebut.
“Kami kini sedang melakukan rehabilitasi di lahan rawa yang tadinya
ditumbuhi hutan galam dan kayu Pulantan yang rusak akibat terbakar masa
musim kemarau lalu, untuk menyelamatkan kera Bekantan itu,” katanya.
Menurut dia, rehabilitasi di lahan konservasi tersebut adalah berasal
dari dana CSR perusahaan untuk melakukan penghijauan, penanaman kembali
bibit Galam, Pulantan, Lkut, dan tanaman hutan rawa lainnya.
Melalui penanaman kembali tersebut, akan merehabilitasi pohon yang
rusak yang terbakar dan kini sudah berdaun muda untuk makanan satwa
Bekantan, sehingga sekitar 300 ekor bekantan di kawasan tersebut bisa
diselamatkan.
Bahkan kawasan tersebut akan dijadikan lokasi ekowisata dan ternyata
hal tersebut direspon oleh Pemerintah Kabupaten Tapin hingga menetapkan
kawasan Desa Tandui dan Lawahan menjadi kawasan ekowisata.
Kawasan yang ditetapkan menjadi ekowisata oleh pemerintah setempat
seluas 90 hektare, artinya jika perusahaan merehabilitasi lahan 16
hektare berarti ada luasan 74 hektare yang menjadi tanggungjawab
pemerintah setempat merehabilitasinya.
Untuk menjadikan kawasan tersebut sebagai wilayah ekowisata PT AGM
sudah membuatkan dermaga “klotok” (perahu motor tempel) ke wilayah
tersebut, sekaligus menyediakan sarana jalan kaki sekaligus menara
pantau.
“Kita ingin pengunjung tak bersentuhan langsung atau berdekatan
dengan Bekantan karena satwa tersebut terlalu pemalu atau penakut dengan
pengunjung, karena itu kita sediakan menara pantau saja, mulai menara
pantau itulah pengunjung bisa menyaksikan kehidupan kera endemik pulau
Borneo tersebut,” katanya.
Mengutip keterangan Pemkab setempat, Budi Karya Yugi menuturkan
kedepan selain bisa dilalui melalui wisata susur sungai, juga akan
disediakan jalan darat dari Jalan A yani kabupaten itu hingga ke lokasi,
sehingga pengunjung bisa pakai mobil.
Ia mengharapkan dengan adanya konservasi tersebut akan menjadikan
wilayah yang berada dekat dengan kanal pengangkutan batubara PT AGM
tersebut menjadi objek wisata andalan Kabupaten Tapin, bahkan Kalsel,
karena disitulah habitat Bekantan terbanyak.
Secara terpisah Sahabat Bekantan Indonesia (SBI) yang dipimpin
ketuanya Amalia Rezeki menyatakan kegembiraannya adanya rehabilitasi
lahan rawa oleh perusahaan swasta untuk menyelamatkan satwa kera hidung
besar Bekantan (Nasalislarvatus) dari kepunahan.
“Kami mengajak siapapun untuk berkomitmen menyelamatkan satwa
Bekantan, dan ternyata itu sudah direspons perusahaan swasta PT AGM,”
kata Amalia Rezeki kepada pers di Banjarmasin, Kamis.
Didampingi pendiri SBI Feri, Amalia Rezeki menuturkan sejak
ditetapkannya Bekantan sebagai maskot Provinsi Kalimantan Selatan oleh
Gubernur Kalimantan Selatan, melalui persetujuan DPRD tanggal 28 Maret
1990 berarti sudah 25 tahun bekantan yang menjadi ikon kebanggaan, namun
demikian perhatian terhadap bekantan dirasakan belum optimal.
Oleh karena itu dengan adanya kesediaan swasta tersebut
mengkonservasi lahan diharapkan akan memancing perusahaan lain berbuat
serupa, walau dana yang digunakan melalui dana CSR perusahaan,
tambahnya.
No comments:
Post a Comment